Harmoni Ramadhan
Posted by anggiazainur on 05.31 with No comments
Sesaat ketika gadis yang kini telah tumbuh dewasa ini mulai jauh dari rasa bersyukur akibat broken home. Ia mulai mencoba mengingat kembali masa dua belas tahun silam, saat gadis yang dulunya kecil ini mulai belajar mengenal ramadhan dan puasa. Namanya, Aya, seperti halnya anak-anak umur lima tahunan wajar saja kalau puasa rasanya masih ganjil.
“Namanya juga anak-anak”, ujar Ibu yang membelaku saat dimarahi Bapak.
Malam harinya, tibalah waktunya Aya untuk mengenal tarawih, dan Mama mengajak Aya menuju Masjid dekat rumahnya yang waktu itu masih berada di komplek perumahan GL. Dengan menggunakan mukenah baru yang Papa belikan, menambah semangatnya untuk pergi ke Masjid sembari pamer ke teman-teman. Setelah itu pintu rumah dikunci, karena Papa tak pulang.
Setiba di Masjid, Aya menaruh sandal kecilnya di sembarang tempat. Bertumpuk dengan sandal-sandal besar yang lain. Aya pun khawatir dengan keadaan sandal kecilnya itu. Setelah adzan sholat Isya dikumandangkan, dan Aya pun mulai mengikuti setiap gerak gerik yang iman dan orang-orang itu lakukan. Sembari sesekali Ia lihat kebelakang, melihat tumpukan sandal-sandal itu. Akhirnya tarawih pun dimulai, Aya masih aktif mengikuti gerak-gerik iman dan orang sekitarnya. Walaupun sesekali menengok kebelakang karena khawatir dan cemas dengan nasib sandal kecilnya itu. Rokaat, demi rokaat terus berlanjut. Tiba-tiba, Aya melihat seorang anak kecil sebayanya memakai sandal yang mirip sekali dengan miliknya, Aya curiga! Aya merengek, Aya mengadu pada Mama yang sedang sholat. Namun tak direspon, lalu Aya pun menangis tapi tangisannya juga tak direspon. Setelah salam Mama baru merespon, betapa kesalnya dia.
“kenapa nak? Jangan menangis, malu sama yang lain”, respon Mama setelah mendengarku menangis.
“lagian mama daritadi nggak dengerin! Kenapa sih mama diem aja?”, jawabnya dengan emosi sambil menangis tersedu-sedu.
“iya nak, kalau lagi sholat itu harus khusu, jangan menoleh kanan kiri, pusat pikiran mama juga lagi menghadap Alloh, apalagi ini sholat tarawih yang hanya ada pada bulan ramadhan, jadi kesempatannya sangat langka sayang”, jawab Mama sambil tersenyum.
“oh, tapi kan bisa sebentar mah, bantuin Aya ngambil kembali sandalnya Aya itu”, sambungnya dengan kata-kata polos.
“tetap tidak boleh, biarlah dia ambil sandal kamu mungkin belum rezekinya ya sayang, kamu harus berlatih sabar dan sholat yang khusu, biar Alloh tambah sayang sama Aya, okey?” ujar Mama memberi nasihat.
“emmm, okelah mah”, jawabnya menyetujui.
***
Pagi harinya kala mentari belum terbit, mata kecil itu sudah terbuka penuh semangat untuk merasakan yang namanya ‘sahur’. Saat itu di meja makan terdengar beberapa patah kata dari Aya dan Mamanya
“mah, kapan Papa pulang? Aya pengen sahur bareng Papa!”, tanya Aya serentak makan nasi seadanya.
“iya nak, besok bapak pasti pulang kalau kamu bisa puasa genap satu hari”, jawab Mama sembari memberinya semangat.
“benar mah? Oke Aya bakal puasa satu hari penuh!”
Selalu dan selalu penuh puasaku demi bertemu Papa yang selalu Mama janjikan. Tapi hari demi hari belum juga datang, hingga suatu hari…….
“mah, Papa udah ngga sayang lagi ya sama Aya? Kenapa Papa ngga pernah pulang? Padahal Aya liat tiap kali kita mau berangkat tarawih, Papanya Mia juga selalu ikut buka bersama keluarganya. Aya iri, mah!”, ucapnya dengan muka muram.
“hush, Aya nggak boleh bilang gitu, Papa pasti sayang sama Aya, tapi Papa sekarang harus kerja buat beli baju lebaran. Besok Papa pasti pulang kok, tunggu kamu puasa genap satu bulan. Yang sabar ya nak!”, ucap Mama menutup-nutupi ketidak hadiran Papa.
Tiap kali Aya lapar, dia tahan demi bertemu Papa. Terkadang berharap lupa kalau hari ini aku puasa, karena kata Mama hal itu dimaafkan oleh Allah jika benar-benar lupa, sayangnya ia selalu ingat. Merengek, menangis, dan menjerit kelaparan saat hampir buka puasa, tapi tetap saja tak mau jika puasanya berhenti.
***
Sampai tiba malam hari raya, dan ternyata puasanya benar genap satu bulan. Aya menepati perjanjian dengan Mamanya, kini waktunya menanti harapan yang selalu Ia impikan yaitu hari raya bersama keluarga, Papa dan Mama.
Dia tunggu terus menunggu, dan waktu sudah menunjukan pukul 21.00 WIB. Suara gemuruh takbir hari kemenangan sudah dikumandangkan. Namun Papa belum kunjung datang, dan gadis kecil itu mulai cemas. Sudah hampir jatuh air matanya,
Tiba-tiba…
Tok, tok, tok…
“assalamu’laikum”, terdengar suara laki-laki dari luar rumah.
“pasti itu Papa! Aya yang bukain pintu ya, Mah!” teriakan Aya dengan semangat sembari menghapus air mata yang terlanjur mengalir dipipi karena telah lama menanti Papa pulang.
Ketika tangan kecilnya mencoba membuka pintu sembari berdo’a berharap bahwa yang ada dibalik pintu itu benar Papa. Setelah ku bukakan pintu itu….
Alhamdulillah, Papa benar pulang, dan Mama tak berbohong. Aya senang puasanya tak berakhir sia-sia. Papa dan Mama pun bangga padanya. Hingga akhirnya hari raya benar-benar bersama keluarga yang sangat jarang Ia temui.
“Alhamdulillh ya Allah, engkau memang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, engkau memberikan Aya hadiah terbaik di hari yang fitri ini. subhanallah”, ucapku dalam hati sambil memeluk Papa dan Mama.
Mengingat hal itu, Ia amat bersyukur dan selalu menanti ramadhan tiba. Walau keharmonisan sudah tak pernah kunjung dikehidupannya, namun ramadhan mengubahnya. Hari terindah dan paling spesial yang Ia miliki, hari berkumpul keluarga yang sangat sangat teramat jarang Ia temui, adalah ramadhan. Terimakasih ya Allah :)
By. Anggia Zainur Rahmah
Categories: cerpen
0 komentar:
Posting Komentar
thanks for reading my post, give comment please.