Rinjani, dan Arti Sebuah Kehidupan
Posted by anggiazainur on 05.31 with No comments

Ketika aku mulai merenungi kehidupan, merasakan kegelisahan hidup, dan kebimbangan. Sempat berfikir, ”mengapa Tuhan menciptakanku?”. kegelisahan itupun berlarut-larut aku rasakan, menanti datangnya keindahan dan mengerti apa arti kehidupan.
Aku di sela-sela kecil kehidupan, sebagai anak dari kedua orang tuaku yang tak luput dari kesalahan. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Semakin umurku bertambah, semakin aku merasa kehilangan kasih sayang mereka. Hingga suatu hari aku merasakan bahwa kasih sayang mereka benar-benar pudar. Menjadikanku sebagai debu putih yang berterbangan kesana kemari tanpa arah. Disitulah aku mencoba memulai perjalanan hidupku tanpa mereka.
Langkah demi langkah, ku lalui jalanan yang pahit tanpa mereka. Awalnya memang begitu menyakitkan. Namun, setelah aku pikirkan kembali semua itu tak seburuk yang ku bayangkan. Jalan-jalan aspal telah ku lalui dalam kesendirian, hanya berbekal tas berisikan pakaian beserta perlengkapan seadanya yang ku bawa untuk bertahan hidup. Hingga dikemudian hari, di persimpangan jalan aku melihat sesosok misterius berpostur tubuh tinggi ideal, dengan tampang lumayan menuju ke arahku.
”Ya Tuhan, apakah itu malaikat yang akan menjemputku, secepat itukah?” pikiranku menuju hal-hal aneh.
Tiba-tiba sosok misterius tersebut mendekat dan menyapaku. Oh, betapa bahagianya aku, ternyata Tuhan masih memberiku kesempatan hidup. Rhefan, itulah orang yang pertama kali menyapaku dan mempersilahkanku untuk berkunjung ke basecamp-nya. Guncang pikiranku, bimbang perasaanku.
”haduh, ini semua engga bener!” perkataanku dalam hati.
Ternyata sesosok tersebut bertambah menjadi beberapa sosok, tiba-tiba dua sosok pria muncul. Danu dan Hendra, mereka bersama dengan Rhefan, yang kemudian mengajakku berbincang-bincang sekedar obrolan kecil. Sambil melepas lelah, dan beristirahat sejenak, saat itu pula aku mulai menceritakan kejadian yang terjadi dikehidupanku sehingga aku bisa sampai di hadapan mereka.
Setelah mereka mengetahui jalannya kejadian yang aku alami tersebut, ntah karena simpatik mereka, maupun alasan lain, mereka mengajakku untuk bergabung dengan mereka. Terlihat dari bawaan mereka, yaitu sebuah ransel yang cukup besar dan nampaknya cukup berat. Aku sendiri awalnya kurang yakin dan kurang mengerti apa yang akan ku lakukan sesudah itu, namun mereka senantiasa membantu dan memberiku pengarahan tentang apa yang akan mereka lakukan.
”kita akan melakukan expedisi ke Gunung Rinjani, yaitu salah satu tempat yang begitu menakjubkan di Indonesia tercinta ini, tempat tersebut dapat membuat pikiran kita tenang dan tempat yang tepat untuk merenungi kehidupan” Rhefan memberikan informasi sekaligus memberikan motivasi kepada teman-teman beserta aku yang kurang yakin bisa mampu melakukan perjalanan tersebut.
Gunung Rinjani setinggi 3.726 meter di atas permukaan air laut, gunung Rinjani ini merupakan gunung berapi tertinggi ketiga di Indonesia dengan status gunung berapi yang cukup terkenal di seluruh dunia. Perjalanan ini begitu menantang bagiku. Secara fisik memang aku hanyalah seorang anak perempuan lemah dengan berbagai kekurangan, dan juga aku akui bahwa secara mental aku pun sedang kacau. Namun, untungnya ada mereka yang terus mendorong aku untuk tetap bisa menghadapi semua ini.
”Betapa beruntungnya aku” pikirku begitu.
Hari ini, merupakan hari pertamaku bersama teman-teman baruku, tepatnya Rabu pagi. Hari ini, ku masih dalam tahap latian bersama teman-teman lain. Awalnya memang terasa berat bahkan sangat berat bagiku, seorang anak perempuan yang mengikuti latihan layaknya seorang laki-laki. Namun, demi petualangan itu, demi penemuan jati diriku, aku selalu berusaha, dan berusaha yang terbaik untukku.
Hari-hari aku lalui dengan berlatih dan berlatih. Aku selalu mengikuti setiap latihan tersebut dengan senang hati dan penuh kesungguhan. Demi petualangan itu, demi perjalananku mencari arti sebuah kehidupan. Bersama teman-temanku yang sudah mulai ku percayai, aku yakin aku dapat mencari apa itu arti kehidupan yang sesungguhnya.
Setelah berminggu-minggu aku latihan fisik, aku mulai merasa yakin bahwa aku dapat menaklukan expedisi tersebut. Bersama ketiga teman–teman cowok yang lain, aku memang terkesan nekat sebagai seorang cewek, namun kenapa tidak? Toh itu juga dapat memberikanku banyak pelajaran dan pengalaman mencari sebuah arti nyata kehidupan.
Malam sebelum expedisi tersebut kami menyiapkan peralatan-peralatan yang akan kami gunakan selama expedisi berlangsung. Kemudian, tiba saat untuk beristirahat sebelum expedisi, saat itu aku melihat Danu dan Hendra sudah tertidur lelap. Namun aku bingung, dalam hatiku pun bertanya ”kemanakah Rhefan?”. Entah mengapa pikiranku tak tenang, mataku pun sulit terpejam, pertanda apakah ini?. Aku mulai berjalan ke teras belakang basecamp, belum sampai teras belakang aku mendengar langkah kaki dan suara tangis yang cukup misterius dengan volume yang kecil dan terdengar merintih. Dengan langkah pelan dan berhati-hati aku mulai mendekati teras belakang basecamp, dan tiba-tiba nampaklah sesosok laki-laki dengan mengenakan jaket hitam tebal beserta tutup kepala sedang meneteskan air mata.
”Siapa di sana?” pertanyaanku dengan nada histeris yang mungkin mengagetkan laki-laki tersebut.
Kemudian Laki-laki tersebut membalikan badan dan ternyata sosok laki-laki tersebut ialah seorang Rhefan yang aku lihat dia itu cowok tegar dan tak terkalahkan dapat meneteskan air mata. Aku terkejut melihatnya, aku juga tak habis pikir mengapa ia menangis seperti itu ya? Hatiku pun tersentuh untuk bertanya kepadanya.
”mengapa kau menangis? Apa ada yang salah?”. Tanyaku membuka tempat curhat gratis.
Kemudian dia menjawab ”aku tak apa, hanyalah sebuah kesalahan yang membuatku berada di sini”.
Aku pun tak mengerti dan bertanya, ”maksudnya apa?”.
”kamu ga tau gimana rasanya menjadi aku, semua ini cuma sebuah kesalahan”. Jawabnya dengan nada agak tinggi.
Karena aku pikir dia marah padaku, aku terdiam di sebelahnya. Namun, ternyata dia tidak seperti yang aku pikirkan, setelah dia terdiam sejenak.
kemudian dia bangun dengan senyum di wajahnya sambil berkata,”Lupakan hal tadi, istirahat yuk, besok pagi kita akan melakukan perjalanan cukup jauh menuju Nusa Tenggara Timur”.
Aku pun mengikuti perintahnya, kembali ke dalam basecamp dan melanjutkan istirahat untuk perjalanan besok.
Pagi harinya, tepatnya pukul 05.00 WIB. Kami masih melakukan yang namanya latihan fisik, walaupun kali ini cukup ringan, namun aku tidak menyepelekannya. Pukul 07.00 WIB, kami melakukan perjalanan dari Kebumen menuju Surabaya menggunakan Bus yang memakan waktu yang cukup lama. Namun, perjalanan yang cukup lama tersebut tidak begitu terasa bagiku, dengan celotehan dan canda tawa bersama mereka, perjalanan ini tidak terasa melelahkan. Kemudian, setelah melalui perjalanan dan beristirahat sejenak, sekiranya pukul 13.00 WITA kami meneruskan perjalanan menuju Nusa Tenggara Timur lebih tepatnya yaitu di Lombok menggunakan kapal Ferry. Dalam perjalanan kali ini, jujur aku tidak terbiasa menggunakan kapal, rasanya agak pusing dan mual. Terkesan ’ndesa’ tapi tak apalah, ”namanya juga pemula” aku berkata sambil tersipu malu. Setelah beberapa jam perjalanan, tiba juga kami di pulau yang berbeda, Lombok merupakan salah satu tempat yang menakjubkan di Indonesia, dengan pemandangan exsotis pantainya beserta hiasan air laut begaikan taburan permata. Oh, luluh mataku memandang semua ini. Namun, karna waktu juga yang memisahkan aku dengan pemandangan Pantai Lombok itu. Aku dan kawan-kawan berjalan menuju basecamp di sana, berhubung bis yang menuju Sembalun sudah tidak ada lagi. Terpaksa kami menginap dan beristirahat terlebih dahulu di basecamp tersebut hingga keesokan harinya.
Kemudian, tepatnya pukul 05.00 WITA kami melanjutkan perjalanan via Sembalun. Perjalanan pendakian dimulai. Kali ini kami mengambil jalan masuk dari pintu gerbang Sembalun. Perjalanan kami dari daerah Mataram menuju Sembalun kali ini menggunakan kendaraan khas Lombok. Pada waktu perjalanan pantai Lombok yang begitu indahnya dann pegunungnan dengan sabana terbentang luas sepanjang perjalanan, serta monyet-monyet yang berkeliaran di antara rumput ilalang dan pepohonan. Subhanallah, mataku benar-benar dimanjakan di tempat ini. Kemudian, sesampainya di Sembalun, kurang lebih pukul 11.00 WIB langsung menuju Rinjani Information Center untuk mengurus izin masuk serta mendapatkan tiket masuk Taman Nasional gunung Rinjani. Setelah itu, kami beristirahat sejenak hingga pukul 12.00 WiB kami pun memulai memulai pendakian. Perjalanan pendakian ini kami mulai melalui jalur Sembalun, yang merupakan jalur yang sering dilalui oleh para pendaki lainnya dan juga mereka-mereka yang gemar tracking.
Perjalanan awal aku masih cukup yakin dengan keadaanku kali ini. Melalui gerbang Sembalun yang nantinya akan melewati pelawangan Sembalun hingga menuju puncak Rinjani. Dalam perjalanan ini, jalur yang kami lewati cukup dramatis dan mengesankan. Diperjalanan nampak luas padang savana dengan punggung gunung yang berliku-liku beserta jurang di kanan dan kiri jalur. Memang cukup jalur ini ekstrim, dengan padang savana yang benar-benar mendramatisir suasana. Hamparan rumput ilalang setinggi satu meter dan buisa dikatakan tanpa pepohonan, merupakan ujian yang cukup berat bagiku sebagai pemula, dan memang terkesan sangat nekat. Beberapa meter sudah kami berjalan. Panasny terik matahari yang langsung menembus mengenai tubuh ini. Hingga akhirnya kejadian itu terulang, dadaku mulai terasa sesak, nafasku mulai kembang kempis, dan akhirnya kambuhlah asmaku. Aku terjatuh dihamparan padang savana. Rhefan melihatku yang terjatuh begitu saja, aku merasakan kepanikannya Rhefan lengsung memanggil Danu dan Hendra untuk P3K, untungnya mereka membawa tabung oxygen. Ranselnya pun ia jatuhkan dan meninggalkan ranselku di padang itu, dia pun mengangkatku hingga pos 1, ntah apa yang akan terjadi jika tidak ada dia, aku sangat berhutang budi padanya. Perjalanan ini begitu mengesankan, menjadikann guru kehidupan bagiku. Sejenak kami beristirahat di pos 1, hingga keadaanku membaik. Sial memang, aku hanya jadi beban mereka, pikirku begitu.
Perjalana kami lanjutkan setelah aku benar-benar merasa lebih baik. Hingga pos II yang masih terdapat sumber air, kami memanfaatkan siituasi tersebut untuk mengambil simpanan air untuk bertahan hidup di alam terbuka ini. Hingga pos III anginnya pun menjadi semakin kencang, suhu udara yang tadinya amat panas kini berubah ekstrim menjadi sangat dingin. Akhirnya pukul 21.00 WITA kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah bukit, kira-kira dua jam perjalanan sebelum sampai di pelawangan. Sebenarnya apabila kami paksakan, kami bisa beristirahat di pelawangan yang dekat dengan sumber air. Namun, kondisiku saat ini sendiri sudah tidak memungkinkan unutuk melanjutkan perjalanan, maka kamipun mendirikan tenda dum. Berdirilah sebuah tenda dum untukku, mereka tidur di luar hanya menggunakan sleaping bag. Akupun semakin merasa menjadi beban bagi mereka, sambil merenung sejenak, meneteslah air mataku yang tak kuasa ku pendam dalam-dalam. Mungkin, karena isak tangisku yang terlalu keras hingga terdengar keluar. Kemudian, Hendra memanggilku keluar. Ku hapuskan air mata itu secepatnya, namun ternyata dia masih bisa membaca mataku yang masih berbekas air mata ini.
Dia bertanya padaku, ”kamu kenapa? Ga’ biasanya deh”.
Akupun menjawab,”tak apalah, hanya masalah kecil tentang memahami teman”.
Diapun menawarkan bantuan untuk tempat curhat, dan untuk meringankan bebanku juga akupun mau bercerita dan memintanya pendapat kepadanya. Setelah semua itu aku ceritakan, dia tertawa keras hingga membangunkan Rhefan dan Danu.
”kenapa tertawa?” tanyaku heran.
Diapun menjawab dengan tersenyum, ”jangan kamu berpikiran seperti itu, kami di sini ikhlas membantumu, kami sudah menganggap kau sebagai keluarga kami sendiri kok, kitakan teman, tenang aja yap”.
Danu dan Rhefan pun heran, kenapa Hendra tertawa seperti itu. Hendra pun menceritakan semua yang aku ceritakan. Mereka pun tertawa mendengar itu, jujur aku senang mendengar jawaban Hendra tadi, dan tersipu malu karena mereka menertawakanku. Malam sudah larut, kami pun melanjutkan istirahat kami, aku pun dapat tidur lebih tenang setelah mendengar jawaban mereka.
Pagi harinya kami meneruskan perjalanan menuju puncak. Bagiku expedisi kami ini bukanlah perlombaan, namun untuk piknik, menikmati, dan mensyukuri keindahan ciptaan-Nya. Setiap langkah perjalanan aku anggap sebagai anugrah, karna semakin banyak makna kehidupan yang terdapat di dalam perjalanan ini. Bagaimana aku dapat mensyukuri segala anugrah yang berlimpah ini, rasa syukurku pun semakin tersirat atas nikmat yang Beliau berikan kepada kami.
Sesampainya di Plawangan, mata ini langsung disambut dengan pemandangan yang amatlah luar biasa. Danau Segara Anak ada di depan mata kami. Jauh di bawah sana dan tertutup oleh kabut, terdapat bunga Edelweis yang tumbuh bersebaran dimana-mana karena memang sedang musim mekar.
”Subhanallah!” kata-kata itu selalu muncul dari bibirku.
Akhirnya kami pun merasakan air pelawangan.
”sumpah! Seger banget” Danu pun berkata demikian.
Benar-benar pendakian yang amatlah bermakna bagiku. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Rinjani itu, kami menuju tempat camp, aku dan Danu mendirikan tenda, sedangkan Rhefan dan Hendra mengambil air langsung menetes dari tebing itu.
”menakjubkan!” terucap dari perkataan Hendra.
Air yang sangat segar dan begitu enak. Tenda kamipun menghadap ke Danau Segara Anak yang sering tertutup kabut. Kami pun beristirahat di dalam tenda tersebut, sambil masak-masak, dan melakukan banyak aktivitas lain. Kami pun semakin membaur dengan alam. Cuaca semakin dingin, dan anginnya pun sangat kencang. Pendakian ke puncak pun akan kami lanjutkan pada pukul dua dini hari untuk menghindari kabut tebal dan angin badai yang biasa terjadi pada siang hari atau pun waktu selain itu.
Setelah beberapa jam terlarut oleh mimpi, tiba saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Tepatnya pukul dua dini hari, dinginnya suhu di sini mencapai kurang dari 9 C, aku mendaki dengan mengenakan jaket super tebal yang anti angin maupun air. Perjalanan mendaki kali ini benar- benar harus super hati-hati, apabila kurang hati-hati ke kanan sedikit saja maka kami dapat langsung terperosok ke Danau Segara Anak, sedangkan apabila kurang hati-hati di kiri jalur terdapat jurang yang sangat dalam. Aku merasa sangat tertantang, sekali saja aku kurang berhati-hati kanan-kiri maut menjemputku. Beratus-ratus meter ke atas kami sudah mendaki, namun bayangan puncak masih belum cukup jelas. Rasa lelahku semakin bertambah, letih pun merasuk di tubuhku, dahaga mengikat tenggorokanku. Entah mengapa, kakiku mulai goyah, perjalanan di atas batu krikil yang cukup licin dan curam. Tiba-tiba, kejadian membawa maut hampir menyerangku, letih yang ku rasa membuat kaki ini goyah, aku terjatuh dan terperosok ke jurang, untung saja ada sebatang pohon tua yang menahanku dan aku pun memegang erat pohon itu, ranselku terjatuh kedalam jurang yang amatlah dalam tersebut. Apabila ini memang takdirku untuk menyusul ransel itu, maka tolonglah hamba-Mu ini Tuhanku, berikanlah kebahagiaan kepada keluarga beserta teman-temanku yang telah mau menerimaku selama ini. Itulah pesan terakhirku. Tanganku mulai tak kuat memegang pohon tua itu. Tiba-tiba, datanglah Rhefan beserta Danu dan Hendra memberi pertolongan. Namun, tanganku benar-benar tak mampu menahan ini semua. Nyaris saja aku terperosok dalam jurang yang sangat dalam itu, aku sudah membayangkan apa nantinya tubuhku yang terjatuh, dan hancur berkeping-keping tergelincir ke bawah. Mujur sekali nasibku ini, Rhefan berhasil menggapai tanganku yang hampir melepas pohon tua itu. Tertolonglah aku, jantungku berdetak begitu kencang karna ketakutanku. Ku kira aku memang begitu beruntung, mungkin karna Rhefan panik juga, dan terburu-buru dia malah terperosok ke dalam jurang itu.
”Rhefan! Rhefan! Jangan tinggalkan kami”. Aku teriak histeris beserta tangis yang amatlah dalam.
Danu dan Hendra pun tak bisa menolongnya. Pikiranku benar-benar kacau, air mataku tak kunjung berhenti. Aku menyesal, mengapa bukan aku saja yang ter jatuh dan kehilangan nyawaku.
”Ya Tuhan, kenapa bukan aku? Kenapa malah Rhefan? Ini semua salahku” teriakanku disertai tangisan penyesalan.
”sudahlah, mungkin semua itu sudah digariskan oleh Tuhan, semua ini bukan kesalahanmu, tenangkanlah dirimu” jawab Hendra yang kasian melihatku terlarut dalam penyesalan.
Perjalanan kami hampir sampai, tetapi kenapa harus ada kejadin seperti ini? Kenapa harus menghilangkan sebuah nyawa. Setelah pikiranku mulai tenang, kami meneruskan perjalanan hingga puncak. Puncak ini menjadi saksi kejadian perjuangan kami yang mengorbankan nyawa. Di puncak ini, aku merenungi kisah perjalanan kami. Rhefan, laki-laki yang pertama kali ku kenal, yang memberikanku motivasi, memberikanku keyakinan akan keberhasilaan, dan pernah menyelamatkan hidupku. Tapi, Rhefan kini telah tiada, semoga dia tenang di alam sana.
”Rhefan, kami berhasil karnamu, kami tak kan samai sini tampamu” teriakanku di puncak Rinjani.
Setelah itu, kami menancapkan bendera Indonesia beserta batu bertuliskan Rhefan, kami menganggap kau abadi di atas Rinjani ini. Perjalanan pulang begitu berbeda, aku merasa sangat kehilangan, air mataku menetes di setiap jalan yang ku lewati. Setelah merenungi kejadian-kejadian yang aku lalui bersama mereka. Rhefan membuat aku mengerti apa itu arti kehidupan yang sesungguhnya. Arti sebuah kehidupan ialah dimana kita dapat berbagi dan memberikan sebuah kehidupan kepada orang lain yang benar-benar membutuhkan kehidupan.
NB: nii ntu tugas skul yg kudu slese sbelund pngambilan rapot.... hehew
bahagianya bisa nyelesein tugas nii... butuh waktu 3hari.... hehew...^_^
Categories: cerpen, tugas sekolah
0 komentar:
Posting Komentar
thanks for reading my post, give comment please.