Menceritakan semua tentang cita, cinta dan petualangan hidup.

Rabu, 17 Mei 2017

BAGAIMANA MENYELESAIKAN SKRIPSI DENGAN BAIK

Baca judul ini langsung merinding gitu ya bawaannya. Menyelesaikan “skripsi” dengan “baik’. Boro-boro baik, bisa selesai aja bersyukur ya, hehe. Begitulah sedikit jeritan hati dari para mahasiswa tingkat akhir hingga akut. By the way, pada jaman dahulu, saya bukan mahasiswa rajin yang menyelesaikan segalanya dengan baik dan tepat waktu. Hampir semua dosen di jurusan mengenal saya, tapi bagian kurang enaknya, yup, bolosan. Walau pun dalam mind-map saya tidak ada keinginan untuk membolos satu mata kuliah apapun. Namun, memang godaan di luar sana sangat banyak, guys. Finally, saya membuat matriks untuk menyusun strategi di setiap semester. 30% kesempatan absen harus termanfaatkan dengan baik, pikirku. Sehingga saya susun matriks tersebut dengan susunan: mata kuliah dan berapa jumlah jam yang ada. Jika saya berangkat, maka akan saya centang, jika saya ijin maka saya silang. Sehingga saya paham betul tingkat kehadiran saya dan bagaimana saya bisa memanage pembolosan ini. Hingga hampir setiap konsultasi rencana studi, bapak Mustofa, M.Sc., beliau guru pembimbing akademik saya bertanya, “Anggi semester depan mau bolosan lagi?”. “Tidak bapak, saya bukan membolos, saya hanya ijin untuk agenda tertentu”.

Well... Padahal kita ketahui bersama memang prosentase kehadiran menentukan Indeks Prestasi Kumulatif, sehingga predikat Cumlaude sangat mustahil saya dapatkan dengan bertindak seperti ini. Tapi, sekali lagi ini pilihan saya. Saya bukan orang yang terlalu memikirkan hasil, tapi proses. Ini sudah cukup relevan dengan teori aksi dan reaksi, hasil tidak akan mengkhianati proses. Walau jelas IPK dihitung dari rumus kehadiran juga, hehe. Mengikuti kuliah umum di kampus tetangga selalu jauh menarik, berdiskusi dengan para pakar dan praktisi jauh lebih menggoda, dan beberapa agenda dengan Dinas Koperasi dan UKM, Dewan Perwakilan Rakyat DIY, serta kantor pajak sering mewarnai masa perkuliahan saya. Tidak dipungkiri kenapa saya lebih memilih itu kan? Hehe. Dear, seluruh dosen saya, maafkan mantan mahasiswamu yang nakal ini, nggih.

Ok, back to the topic. Menyelesaikan skripsi. Well, saya mahasiswa angkatan 2011, rekan-rekan saya beberapa sudah lulus tepat waktu, Agustus tahun 2015. Sedangkan saya masih terlalu asik berkecimpung di kampus, 2015 masih bahagia mendapat kesempatan study ke negeri para TKI – Hong Kong, mengikuti Humanitarian Affair yang diadakan oleh University Scholar Leadership Symposium. Skripsi? Belum kepikiran sama sekali. Padahal kewajiban kuliah kelas sudah saya selesaikan awal semester 6 tahun 2014, karena saya termasuk rajin mengikuti semester pendek, jadi sering ikut kelas senior hingga kehabisan SKS, di semester 7 tahun 2015 sudah tidak kuliah lagi, hanya jalan-jalan ke Bali yang kita sebut dengan Kuliah Kerja Longholiday (eh, Lapangan). Kemudian, tahun 2016, Februari akhir, usai sudah amanah di organisasi kampus. Tidak ada alasan lagi untuk menghindari satu bendel yang kita sebut, “SKRIPSI”. Walau sudah di sambi main, naik gunung, piknik dan tralala trilili lainnya.

Kemudian satu pesan yang sangat mengena hingga saat ini, pesan Line dari pak Rektor, Bapak Rochmat Wahab, “Anggia, commited dengan hobby dan keahlian perlu terus dijaga, tapi yang jauh lebih penting adalah skripsinya untuk tunjukkan kepada orang tua.” #jlebbb #pakebanget seakan langit runtuh dan daun berguguran.

Mencoba membulatkan tekat bahwa ini tidak main-main. Finally, dosen pembimbing saya mengirim pesan via whatsapp, “Anggi, sudah selesai ya di Kopma? Jadi kapan proposal bisa diajukan?”. Mengusap keringat sambil menjawab, “Segera, Pak”. Beliau pak Aula Ahmad Hanafi Saiful Fikri, M.Sc. dosen pembimbing yang baik awalnya hingga lama kelamaan badmood juga dengan saya. Beberapa hari kemudian saya serahkan proposal, dan... “Ya, besok seminar. Urus kelengkapannya segera”, begitu yang pak Aula sampaikan. “Pak, tapi... ini belum direvisi?”, “Sudah tidak apa, besok juga direvisi dosen penguji”. Singkat cerita benar, saat seminar saya benar-benar dibantai. Pertanyaan demi pertanyaan, coretan demi coretan. Nekat, asli nekat banget. Tapi alhamdulillah terlampaui juga. Beliau lah pak Supriyanto, M.M., dosen yang terkenal perfeksionis soal skripsi dan tugas kuliah lainnya. Kebetulan sekali skripsi saya tentang analisis keuangan perusahaan, dan sungguh tepat sekali beliau merupakan master manajemen keuangan dari kampus tetangga - UGM. Saya yang dasarnya fokus pada koperasi dan kewirausahaan ini, mencoba skripsi tentang keuangan, benar-benar dari nol dan dihadapkan langsung dengan masternya. So perfect. Tapi saya optimis bahwa ini mudah dan bisa sangat cepat dalam pengerjaannya daripada saya harus meneliti koperasi.

Ok, singkat cerita, yang tadinya dibantai langsung bisa selesai dalam waktu 3 bulan lebih berapa hari. Ini karena disambi main, revisi 1 hari, mainnya sebulan. Astaghfirullah... sempat juga cidera kaki hingga tidak bisa jalan dengan normal beberapa waktu, kecelakaan tunggal di jalan kaliurang KM 5, sungguh, memalukan. Mampir kopma dulu, melihat kaki bocor, baru ke RS Sarjito, nambal dulu. Selang berapa hari belum sembuh bocor alus dikaki, luka masih basah, sudah ditambah cidera engsel kaki lagi karena lompat-lompat kursi kampus, ini jauh memalukan. Akhirnya ke klinik terapi cidera di kampus. Selang beberapa waktu, Bapak pembimbing yang baik hingga badmood ya karena ini, beliau chat lagi, “Bagaimana revisinya?”. Saya jawab, “Segera Pak, saya masih mengerjakan di Bareskrim Depok”. Harus disambi wawancara kasus penggelapan dan penipuan yang dialami para pengusaha persewaan kamera di Jogja saat itu karena ada sindikat penipu yang merupakan tahanan lama yang udah mondar mandir penjara, jadi udah pengalaman banget lah soal pemalsuan identitas. Wis, complicated banget lah, haha. Seru. Namun.... akhirnya selesai juga, saya ujian bulan Juni pertengahan dan benar-benar ngebut revisi hingga terdaftar yudisium bulan Juli juga, karena saya mengejar wisuda Agustus 2016.

Banyak yang dikorbankan, termasuk tiket ke Malaysia yang hangus karena waktunya tidak terkejar saat revisi skripsi. Maaf ya teh Devie, jadi harus berangkat sendirian ke negeri jiran.
Banyak hal yang bisa dipetik dari kisah saya dalam berjuang menyelesaikan skripsi. Baik? Jelas tidak. Saya mahasiswa agak menyimpang memang, tapi selalu berusaha lurus dan membuat makna.
Waktu adalah Sesuatu yang Sangat Berharga dan Tidak Bisa Berulang, Begitu pun Pengalaman.

Teman-teman yang sedang menyusun skripsi, coba bulatkan lagi tekat kalian. Alasan kenapa kalian harus banget menyelesaikan itu semua. Kadang memang, “AH yang penting lulus tepat pada waktunya”. Big, No. Itu kalimat andalan saya dulu memang, tapi... itu akan menunda waktu kalian untuk welcome to the real world. Yang jauhhh jauhh lebih membutuhkan waktu dan tenaga kalian. Ingat, keluarga di rumah menanti. Dan ingat, sehari menunda skripsi sama dengan sehari menunda pertemuan kalian dengan jodoh #eh #kokbisa


Ok, back to the point. Skripsi yang baik adalah skripsi yang dikerjakan ya guys, malas itu bukan pilihan! :)

Senin, 15 Mei 2017

Pendakian Gunung Slamet: Slamet mean Safe, Safety First

Waktu itu, bulan Maret 2016. Salah satu tempat pelarian dari revisi skripsi. Sudah daftar jauh-jauh hari memang untuk mengikuti Eat, Sleep, and Hike 7 (ESH7) yang diadakan oleh Cozmeed Indonesia yang berlangsung pada 25 – 27 Maret 2016. Entah angin apa yang membuat saya mendaftar acara tersebut, sendiri. Pendakian gunung Slamet 3428 Mdpl via Baturaden, Purwokerto.

Singkat cerita, saya membuka email, dan mengecek list nama peserta. Fine. Tidak ada teman satu pun yang berangkat dari Jogja. Oke tidak masalah. Saya pesan tiket kereta sendiri waktu itu, dan booking rumah Indah Rahayu di Purwokerto untuk transit.

Cerita dimulai 23 Maret 2016 malam hari, H-1 sebelum keberangkatan. Mendadak ada info sangat urgent dibutuhkan darah O untuk anak penderita Leukimia di Sarjito, entah tidak kepikiran apapun langsung menuju Sarjito untuk donor. Kurang lebih pukul 23.00 WIB, saya selesai donor. Kemudian lanjut istirahat karena besok kereta pagi menuju Purwokerto sudah berjalan. Singkat cerita, 24 Maret 2016, entah badan rasanya enak banget buat tidur. Untung saja tidak bablas ke Cilacap ya. Masih dengan hawa ngantuk dan agak sempoyongan, masih efek donor dan kurang tidur semalam. Kemudian Indah menjemput di Stasiun dan kami memutuskan untuk dopping daging rendang favorit di rumah makan padang. Entah kenapa masih juga mengantuk, akhirnya numpang tidur dulu sebelum Technical Meeting pendakian nanti sore di Cartenz Purwokerto. Sebenarnya persiapan masih sangat amat kurang, mendadak banget, asli. Masih sibuk beli celana lagi karena kurang, beli gas, dan beli-beli lainnya. Singkat cerita, sore hari saya berangkat TM, ternyata TM itu langsung menuju basecamp pendakian Gunung Slamet via Baturaden. Asli, belum siap. Badan rasanya masih kekurangan darah. Tapi semangat, bismillah.

Dari Cartenz Store Purwokerto menuju basecamp kami naik mobil, karena saya terlambat dan tertinggal bus rombongan. Alhamdulillah, mba dan masnya sabar menanti, jadi kita tetap berangkat bersama walau terlambat. Alhamdulillah, yang tadinya berangkat sendiri langsung jadi banyak teman dari Jakarta, Surakarta, Depok, Semarang, Surabaya, dll. Asli, tidak terasa kalau dari Jogja berangkat sendiri.

Pendakian ini ada lebih dari 50 peserta dengan 8 perempuan dan sisanya adalah pria. Memang merupakan pendakian dengan jalur yang tidak biasa. Biasanya kalau ke gunung Slamet kita melalui pos Bambangan, Purbalingga. Oke, singkat cerita lagi, materi demi materi pendakian sudah kami serap. Banyak hal yang saya dapat disini, bukan hanya teman dan kesenangan, tapi materi pembekalan juga di alam bebas. Ya mirip waktu masih di organisasi pecinta alam dulu. Tapi ada uniknya karena ada materi tentang alam dan sosial media yang dibawakan oleh mas Jarwo (ini mas-mas yang lumayan sering saya repotin, sampai nama saya disebut juga kan di blognya, maaf ya mas).

Setelah serangkaian acara pembukaan dimulai waktunya istirahat, kami tidur di pendopo. Esok harinya, 25 Maret 2016, setelah sarapan dan keperluan lainnya kami mulai perjalanan pukul 9.00 WIB. Pemanasan dan lain-lain dulu sebelum jalan jauh. Kemudian naik mobil (jangan dibayangkan, hanya untuk profesional driver, sampai merem-merem naiknya) menuju gerbang pendakian (yang tidak ada wujud gerbangnya sama sekali). Oke, we are ready to start the journey. Hello, Anggi. Lupa ya. Kondisi fisikmu yang sebenarnya bagaimana?

Then, I’ll tell you all something... belum ada satu jam perjalanan, fine. Saya terkena mountain sickness (bisa tanya mbah google ms itu apa). Saya muntah, keringat dingin dan segala macamnya tidak jelas. Warna muka? Jangan tanya, asli pucat sudah. Nah, ini dia masa dimana saya mulai membuat repot mas Jarwo (instagramnya: @xspheriksx), beliau menawarkan untuk membawakan tas carrier saya, jadi beliau membawa dua tas carrier. Asli baik banget mas-mas anggota tim SAR sekaligus fotografer profesional di perusahaan ternama di Jakarta yang satu ini #promote sebagai ucapan maaf, hehe. Padahal dalamnya cukup lengkap beserta tenda dan teman-temannya. Kebayang ya beratnya berapa. Sungguh, rasanya seperti pecundang sih waktu itu, tapi mau bagaimana lagi. Menyadari kelemahan kadang harus. Singkat cerita, mendaki tanpa beban adalah sesuatu yang tidak begitu sulit, hehe. Tapi lihat wajah mas Jarwo malah jadi pucat, alhasil ada mas Tambor yang akhirnya menawarkan untuk bertukar Daypack. Karena beliau tidak membawa tenda jadi daypacknya jauh lebih ringan daripada tas carrier yang saya bawa. Oke, kita lanjut perjalanan dengan bertukar muatan.


Source: Instagram @journeysia saat melewati jalur Baturaden

Singkat cerita, kurang lebih pukul 15.00 wib, melewati POS II, hujan deras. Usut punya usut, mau cuaca cerah atau mendung, di POS ini akan tetap hujan deras. Mulai banyak korban hypotermia pada sesi ini. “Mas, jangan diem aja dong, please!”, itu yang saya teriakan terus, bukan karena ngga suka didiemin, kalau itu udah biasa kok #malahcurhat. Namun, ketika kondisi suhu di lapangan itu tidak bersahabat dan kita diam, kemungkinan terkena hypo sangat tinggi dan resiko kematian juga tinggi. Jadi, pecicilan lah kamu supaya badan tetap terjaga. Saya hanya bisa panik sembari menikmati dingin hujan yang menusuk tulang. Sungguh, jas hujannya tidak begitu ngefek, tetap basah kuyup dengan sepatu yang basah juga. Ditambah dengan banyaknya pacet (red: lintah kecil) yang membuat diri ini semakin grogi. Namun, ada tips supaya tidak terserah pacet. Ini tips langsung dari saya sebaga satu-satunya peserta yang tidak kena pacet. Ternyata menggunakan geitter saja tidak cukup, karena pacet kecil dan bisa menjangkau sampai area terjauh sekalipun. Saya menggunakan trash bag untuk melindungi kaki dari air dan pacet juga tidak bisa masuk.

Hari sudah mulai gelap dan hujan tak kunjung reda. Beruntungnya kami sudah menjamak sholat Ashar tadi dengan Dhuhur sebelum hujan. Dititik ini, agak berlebihan memang, rasanya hampir tidak kuat lagi. Hampir mati. Berjam-jam menggunakan pakaian basah dan hujan tak kunjung berhenti dan kita dituntut untuk jalan terus. “Mas, ngga bisa berhenti dan berteduh disini kah? Sebentar, aku ngga kuat lagi,” itu yang aku ucapkan waktu itu ke mas Nasrul. Pecundang ya aku? Hmm. “Ngga bisa, kita ngga ada tenda, dan kalau berhenti nanti hypo, sebentar lagi kok,” begitu jawabnya. Oke, tetap berjalan dengan nafas kembang kempis. Singkat cerita kami menemukan tempat berteduh sejenak di waktu maghrib, untuk makan mengisi tenaga, POS 3 kurang lebih masih 3 jam lagi. Saya terpisah dengan mas Tambor yang membawa tas carrier saya. Perlengkapan kami tertukar. Akhirnya diberi pinjaman kaos mas Nasrul karena pakaian yang saya gunakan dari tadi sudah sangat basah. Istirahat kurang lebih 30 menit dan kami melanjutkan perjalanan lagi hingga POS 3.

Pukul 21.00 wib, akhirnya di POS 3 tidak hujan, waktunya istirahat. Saya lupa kalau perlengkapan kami tertukar, mas Tambor tidak ada kabarnya sama sekali. Saya meminjam baju, jaket, kaos kaki milik mas dan mba yang ada. Baiknya mereka semua, tapi saya merasa merepotkan. Harus jadi catatan ya, walau berkelompok, yang namanya di alam bebas, harusnya tidak bergantung pada siapapun. Tenda pun akhirnya nebeng, satu tenda kapasitas 2 orang untuk berempat, luar biasa.

Pagi harinya, belum ada kabar sama sekali dari mas Tambor, perlengkapanku semua di sana. Aku ngga mungkin ngga pakai jilbab, stoknya habis, ini yang saya pakai pun cuma buff dengan hoodie jaket supaya tetap menutup aurat. Baju, celana, dll juga ga bisa merepotkan orang lain, mereka juga butuh. Perjalanan hingga puncak dan kembali masih 2 hari lagi. Finally, keputusan yang sangat berat. Akhirnya saya menyerah dan memutuskan untuk turun. Supaya tidak ada korban selanjutnya yang saya repotkan. Saya sadar, fisik dan perlengkapan juga kurang mendukung. Akhirnya saya turun kembali dengan ditemani 1 porter, duh, lupa namanya siapa. Maaf.

Singkat cerita ternyata hujan kemarin cukup keren, kami balik melalui jalur yang sama namun tidak bisa, karena banyak pohon besar yang tumbang. Beruntungnya saya turun dengan mas Porter yang suka bikin jalur, jadi kami mblasak-mblasak di jalur lain. Kemudian, apa yang terjadi setelah turun? Ternyata kami menemukan mas Tambor beserta rombongan lainnya sedang berhenti dan akan turun. Ya Allah, beruntungnya saya memutuskan untuk turun. Jika tidak dan menanti sesuatu yang tidak pasti di atas sana, bisa merepotkan lebih banyak lagi orang. Sudah lah, singkat cerita lagi kami turun bersama rombongan lainnya yang turun juga. Berhubung jalur ini cukup mistis kami harus sampai bawah sebelum gelap, beruntungnya kami bisa lebih ngebut. Hingga maghrib sudah sampai gerbang pendakian dan menanti mobil jemputan. Singkat cerita kami kembali ke rumah mas porter, duh siapa ya. Kami istirahat, bersih diri dan menghirup udara segar dengan kaki ngilu. Disertai oleh-oleh pacet yang masih sempat menyedot darah beberapa orang di rumah.
Source: Facebook. Foto Puncak Slamet

Dari kisah ini, bisa ambil hikmah dari perjalanan saya di Slamet kan ya? Kisah kegagalan yang memiliki makna hidup.
Yup, safety is number one.
Persiapan fisik dan mental.
Perlengkapan juga must ready.
Jangan bergantung pada orang lain.

Salam Lestari!

Minggu, 21 Juni 2015

Memetik Pelajaran dari Merapi

Weekend kali ini sudah saya prediksikan lebih luang dari biasanya, sehingga perlu dimanfaatkan untuk melakukan perjalanan yang telah lama diinginkan. Saya beserta teman-teman saya dari Kopma, dari temannya teman saya, dan juga ada murid-murid saya sewaktu melakukan PPL di SMK Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Kami janjian dan berjumpa di basecamp Merapi via New Selo.

Kronologinya, hari itu, Sabtu 19 Oktober 2014 seperti biasa saya beraktivitas seperti biasa. Pukul 07.00 WIB di Kopma UNY ada agenda Short Course Kewirausahaan, ada pengisi acara dan materi yang asik untuk disimak. Kemudian, sekitar pukul 11.00 WIB saya berbincang dengan salah satu pembicara, yaitu mas Rafi pemilik Seven Heaven Tour and Travel yang ternyata tunangannya sahabat saya waktu SMA, wah, dunia begitu sempit. Setelah kita berbincang, saya menawarkan kerja sama untuk bersama membangun usaha Bimbingan Belajar yang sedang saya dan tim kembangkan, alhamdulillah respon dari mas Rafi baik. Tak terasa perbincangan berlalu dan menunjukkan waktu shalat Dhuhur telah berlalu dan acara Short Course ini akan segera berakhir. Setelah shalat dhuhur, saya menunggu Andi (ketua Short Course) selesai berbenah dan evaluasi acara, karena dia merupakan salah satu orang yang akan ikut dalam perjalanan ini. Setelah evaluasi, kami berbergegas, saya lupa saya belum packing. Awalnya janjian pukul 15.00 WIB sudah meluncur basecamp, alhasil kami baru bisa merapat sekitar pukul 17.30 WIB, kemudian kami bergegas berangkat dan memutuskan untuk shalat Maghrib di jalan. Dalam rombongan pertama, ada 8 orang yang berangkat yaitu saya, Andi, Sisi, mas Agung, dua anak murid PPL (Dicki dan Fendi), Umar dan satu anak sosiologi yang saya lupa namanya. Beberapa teman saya yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu lagi menyusul kemudian.


Singkat cerita, kalau tidak salah sih, masalahnya kisah ini sudah terlalu lama untuk diceritakan, hehe. Sudah lah, anggap kami tiba di basecamp new Selo pukul 21.00 WIB. Kondisi basecamp padat dan ramai, beruntung kami masih mendapat ruang untuk sekadar berselonjor dan menaruh barang sejenak saat ditinggal shalat. Setelah kami menaruh barang di basecamp, sembari menanti rombongan yang lain, kami berangkat shalat Isya. Tak disangka-sangka, bahwa halaman hampir semua basecamp yang ada sudah padat merayap kendaraan parkir. Saya mulai pusing. Namun, kami lanjutkan untuk mencari air wudhu. Ternyata di basecamp Merapi tak semudah Merbabu dalam persoalan air, disini sangat langka. Kami menanti cukup lama untuk mendapatkan air seadanya untuk berwudhu. Setelah itu, kami shalat. Pasca shalat, hasrat ingin ke kamar mandi cukup besar, tapi apalah daya, air sangat sulit ditemukan. Kami menunggu. Hingga waktu yang cukup lama.


Setelah urusan perairan selesai, kami tak lupa mengisi perut. Ternyata di dekat basecamp kami ada warung kecil yang menyediakan gorengan, makanan dan minuman. Kita santap dahulu. Setelah memenuhi ruang di perut dan beristirahat sejenak, sekitar pukul 00.30 WIB alias sudah ganti hari yaitu Minggu 20 Oktober 2014 kami melakukan perjalanan naik. Kami sudah dengan tim lengkap kurang lebih 20 orang dari berbagai kalangan. Kami melakukan doa bersama dan mulai berangkat satu persatu.


Singkat cerita, tim kami terpecah hingga tiga bagian. Saat itu, saya harus menemani anak murid saya yang memang masih newbie dalam pendakian gunung. Saat itu, kondisi mereka belum cukup kuat. Namun, karena saya yang membawa kedua murid saya ini, saya harus bertanggung jawab dan tetap menjaganya sampai akhir. Ini anak orang, kalau kenapa-kenapa saya yang bersalah. Apalagi mereka sudah ijin kepada kedua orang tua mereka, tak seperti saya. Akhirnya, walau kami jalan pelan-pelan dan banyak berhenti, sekitar pukul 3.30 WIB, sampailah kami di watu gajah, beberapa meter sebelum pasar bubrah. Karena kondisi anak-anak tidak memungkinkan untuk lanjut, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat dulu di sini, di balik bebatuan besar. Ada satu kesalahan yang saya lakukan, yaitu hanya membawa satu tenda yang rencananya memang hanya untuk peserta perempuan, yaitu saya dan Sisi. Namun, karena kondisi anak murid saya yang terlihat belum cukup kuat untuk tidur diluar, akhirnya tenda ini digunakan mereka berdua, ya semoga dapat membantu. Akhirnya, saya, Sisi, Mas Agung, Umar dan anak sosiologi tidur tanpa tenda dan mengenakan sleeping bag kami masing-masing. Udara tak cukup bersahabat, sleeping bag bukan double polar ini tak cukup menghangatkan badan saya, saya pun tak bisa tidur. Hanya bisa glundang-glundung. Hingga dua jam berlalu tanpa bisa tidur, kemudian saya memutuskan untuk masak yang hangat-hangat saja dan shalat sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak.


Sudahlah, singkat cerita sekitar pukul 6.00 WIB kami melanjutkan perjalanan ke puncak Merapi, karena jika setelah pukul 12.00 WIB konon kondisi gas di puncak akan tidak bersahabat. Puncak tampak begitu terlihat dari pasar bubrah, tetapi setelah dilalui butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai sana. Itu karena saya salah jalur dan harus lompat ke jalur yang benar dan diridhoi oleh-Nya.
Track menuju puncak yang berbatu dan pasir ini cukup menantang. Sesekali ada teriakan, “awas batu”. Sesekali kami bergeser dan mengamankan diri. Pada akhirnya setelah hampir 2 jam perjalanan kami sampai juga di puncak Merapi 29.68 Mdpl. Kami disuguhkan pemandangan yang sangat eksotis di puncak ini. Namun sayang, ramai sekali di atas sini, kami tak bisa banyak bergerak, mau kemana-kemana penuh. Ya sudah, setelah cukup menikmati kekayaan Sang Pencipta, kami mohon undur diri dan kembali turun. Tak sesulit naik, turun dari puncak kami cukup perosotan, tak sampai 1 jam kami sudah sampai pasar bubrah lagi.


Cerita yang cukup simpel, dhuhur kami sudah sampai tempat kami mendirikan tenda.
Namun, sebenarnya tak begitu simpel cerita kami ini. Ketika malam ada teman kami yang menyusul, dia ternyata tak begitu beruntung. Percaya atau tidak dia diikuti oleh sesosok yang menyerupai pendaki, namun menghilang beberapa saat setelah sosok itu diajaknya berjalan bersama. Dan masih ada sosok-sosok yang lain.


Hikmah yang bisa kita petik: jaga diri, jaga hati dan terutama jaga alam yang indah ini.


Salam lestari!

Jumat, 11 Juli 2014

Sebuah Perjalanan: Merbabu Adventure

Sebuah Perjalanan :)

Rabu, 02 Juli 2014

Memaknai Setiap Langkah Merbabu

Point View Back of Merbabu
Sabtu 21 Juni 2014 ini begitu cerah, saya awali hari dengan jogging bersama mas Agung dan mas Budi. Biasanya saya hanya sanggup setengah putaran, kali ini bersama mereka dua putaran plus jalan santai satu putaran di Embung Tambak Boyo (Condong Catur, Sleman) saya libas. Tempat ini sangat cocok untuk jogging karena selain track yang panjang, tempat ini juga menyediakan pemandangan yang begitu indahnya. Setelah jogging berlangsung, kami memanjat dinding di sekitar pinggiran Embung yang membatasi wilayah warga dengan wilayah wisata embung ini sendiri. Dari atas, kami dimanjakan lagi dengan pemandangan yang begitu memanjakan mata. Setelah itu, kami menutup acara pagi ini dengan sarapan di Warung Soto di daerah Klebengan. Hemm, hari yang begitu menyegarkan.

Setelah jogging, saya langsung kembali melanjutkan aktivitas seperti biasanya. Ya, berangkat ke Kopma UNY tercinta dan melakukan beberapa aktivitas seperti biasanya. Lalu, apa yang berbeda dihari ini? Ya, banyak yang berbeda, terutama setelah dari Kopma, saya mulai ‘packing’ menyiapkan seluruh pembekalan untuk perjalanan hari ini. Setelah dari Kopma saya mampir mini market untuk berbelanja kebutuhan perjalanan. Dengan bermodalkan tas carrier pinjaman beserta matras dan sleeping bag pinjaman juga saya mulai packing. And finally, packing done pukul 16.00 WIB dan saya menanti adek angkatan Ikatan Siswa Pecinta Alam (Iksapala), Lely, agar kami bisa berangkat bersama. Belum ada kabar dari anak itu. Kemudian saya memutuskan untuk menunggunya di Toko Planet Adventure supaya ada teman tunggu, hehe

Tak kunjung muncul, ternyata tiba kabar bahwa dia akan tiba setelah Isya. Kemudian, setelah saya menjemputnya di Pasar Gamping, kami menuju jalan kaliurang menjemput dua laki-laki yang keduanya juga merupakan adek angkatan saya. Baru sadar, mereka semua merupakan angkatan T dan saya sendiri adalah angkatan S. Dalam Iksapala, nama angkatan berurutan berdasar Abjad. Setelah menjemput mereka dan shalat di kontrakan mereka, kami pun bergerak walau hujan membersamai kami. Sekitar pukul 20.00 WIB kami berangkat dari Yogyakarta menuju Magelang dan pukul 22.00 WIB basecamp Merbabu via Wekas menyambut hangat tubuh kami ini. Perjalanan memang tidak berjalan begitu mulus, motorku yang dua tahun lalu pernah melewati jalanan ini dari gerbang Wekas hingga basecamp membawa seorang cewek kuat tanpa harus menurunkan penumpang, kali ini benar-benar sudah tidak kuat, dengan terpaksa Lely harus berjalan kaki.

Setibanya di basecamp kami meletakkan sejenak carrier-carrier yang penuh dengan perbekalan kami. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami memesan makan yang disediakan di basecamp. Dengan iuran Rp 7.000,- cukup untuk nasi telor sayur dan membuat kami kenyang. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 00.05 WIB dan berganti hari. Ya, saat itu hari berganti Minggu, 22 Juni 2014. Kemudian, kami bergegas agar kita segera bisa istirahat di camping ground atau POS II. FYI jarak basecamp sampai puncak berkisar 5 km. Jadi jelas kami harus berhenti sebelum melanjutkan ke puncak. Singkat cerita, kami sampai di POS II pukul 03.30 WIB, cukup lama memang karena tubuh yang kondisinya sudah cukup lelah dengan aktivitas hari itu dan memang kami adalah pendaki hore. Rencana ingin menyusul adik-adik kami yang sedang melaksanakan Pendidikan Lanjut (Dikjut) angkatan X pun pupus karena faktanya mereka sudah beranjak ke puncak pukul 03.00 WIB. Jelas kami tidak bisa menyusul mereka, setelah mendirikan tenda, sekitar pukul 04.00 WIB kami memutuskan untuk tidur dan melanjutkannya nanti.

Pukul 05.30 WIB kami bangun dan kami sadar kalau kami telat sholat subuh, hehe. Udara merbabu mendekap kami begitu erat hingga susah bangun. Sleeping bag pun rasanya enggan lepas dari tubuh kami. Beruntungnya POS II begitu bersahabat, sumber air yang melimpah membuat kami tidak kebingunan untuk wudhu. Dan pagi ini rasanya wudhu dengan air kulkas, beku

Setelah berwudhu kami, bergegas menyalakan kompor. Beruntung ada seksi konsumsi (baca: Lely) yang langsung menawarkan makanan dan minuman hangat untuk menghangatkan tubuh kami sebelum melanjutkan perjalanan ke Puncak. Lely juga yang bersedia jaga tenda, sedangkan saya, Haris, Candra dan Halim melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Jadi, pukul 07.00 WIB kami melanjutkan perjalanan ke Puncak, masih sekitar 3 – 4 jam perjalanan lagi. Perjalanan kali ini membawa bekal secukupnya. Tas carrier yang besar itu harus ditinggal karena medannya kali ini cukup berat. Membawa air mineral sekitar 2 botol 1,5 liter untuk 4 orang kami rasa cukup, beserta roti secukupnya.

Diperjalanan memang saya akui saya yang paling lambat, saya menikmati setiap perjalanan dengan sesekali menghadap belakang dan menarik nafas. Pemandangan dibelakang sangat cantik, terlihat beberapa jajaran pegunungan yang memanggil meminta didaki. Dalam perjalanan, akhirnya kami bertemu dengan rombongan Iksapala. Kondisinya kami baru naik tapi mereka sudah turun. Tak apalah, yang penting bertemu.

Singkat cerita...
Ternyata dilematika itu muncul, ketika tiba dipersimpangan antara Puncak Sarif dan Kenteng Songo. Posisinya, Puncak Sarif tampak begitu dekat, paling sekitar 15 menit dan Kenteng Songo masih jauh berliku, sekitar 45 menit bahkan satu jam dengan medan yang spesial. Saya hampir memutuskan untuk menuju puncak Sarif saja dengan kondisi kaki yang bergetar.

Namun, terlintas dipikiran, “Lalu apa arti perjuangan? Kenapa harus setengah-setengah?”
Akhirnya saya memutuskan untuk ke Kenteng Songo. Perjalanan memang tidak mudah, tapi menyengkan. Walau sempat bertemu dengan mbak-mbak yang kakinya dibalut kassa karena terkilir atau patah tulang. Memang, butuh teknik climbing yang baik. Beruntung dulu kami pernah belajar.

Singkat cerita (lagi)
Kami sampai di puncak pukul 11.00 WIB, ya empat jam perjalanan, begitu lama tapi memuaskan. Sesampainya di Puncak, saya mengeluarkan kertas dan spidol untuk menulis beberapa kata ucapan terima kasih terutama untuk Mama yang sudah mengijinkan, ini kala pertama saya diberi ijin naik gunung, haha. Ohya, diatas selain foto-foto, saya tidur di Puncak Kenteng Songo. Panas begitu menyengat dengan pakaian serba hitam menambah mudah perjalanan sinar matahari menuju tubuh ini.

Singkat cerita (lagi dan lagi)
Kami turun pukul 13.00 WIB dan sampai lagi di POS II pukul 15.30 WIB, ya cukup lama. Tapi saya nikmati. Setibanya di POS II, kami disuguhi makanan lengkap nasi sayur dan lauk oleh Koki handal kami, saudari Lely. Setelah kenyang makan, kami baru shalat Ashar dan Jama’ Dhuhur. Kembali lagi di POS II kami istirahat sejenak dan melanjutkan perjalanan pulang pukul 17.00 WIB.

And finally, kita sampai Basecamp bada Isya. Karena kaki rasanya tidak bersahabat, terutama mata yang sudah sayup-sayup. Kami pun memutuskan untuk menginap di basecamp dulu hingga esok baru pulang. Hmm, sekian dulu ceritanya J