sedikit mengenal SHG

Posted by anggiazainur on 23.54 with No comments

Soe Hok-gie: Kisah Lelaki dari Kebon Jeruk
Jakarta, KCM
 
Timur Angin/dok Miles production
 
Saatnya  bangsa  ini untuk diingatkan, bahwa negeri ini pernah memiliki Soe
Hok-gie.  Aktivis  muda  yang memilih diasingkan, ketimbang menjadi manusia
munafik.
 
Ia  memang  pantas  diidolakan  karena   kegigihannya  dalam  bersikap  dan
menuntun  dirinya  untuk  jujur  pada  nilai-nilai yang diyakininya. Inilah
saatnya,  generasi  muda dikenalkan pada sosoknya agar mau belajar padanya.
Bukan  kepada  mereka  yang  melacurkan dirinya pada kekuasaan, jabatan dan
kemewahan.
 
Di  tangan  sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana, usaha itu dicoba
dirintis.   Lewat  film  berbeaya  Rp.  7 miliar itu, kedua sinaes muda ini
menghadirkan  kepada  masyarakat Tanah Air, sebuah interpretasinya terhadap
sosok  Gie.  Kalaupun  banyak  hal  tak  sesuai dengan apa yang dibayangkan
orang-orang,  terutama  yang  pernah  dekat  dengannya,  toh kata Mira, itu
karena film ini merupakan sebuah interpretasi Riri terhadap Gie. Bukan film
dokumenter ataupun film biografi!
 
Cukup   repot  menggali  informasi  seputar  kehidupan  Gie.  Apalagi  yang
menyangkut  kehidupan  pribadinya.  Riri  bahkan harus pergi ke luar negeri
untuk  menemui  perempuan yang pernah dekat dengan Gie. Meski kisahnya bisa
didapat,  tak  sedikit  nara sumber yang keberatan untuk disebutkan namanya
dalam film Riri tersebut.
 
Banyak  tokoh fiktif yang dihadirkan. Kata Mira, itu menjadi referensi dari
sejumlah  tokoh  yang  pernah  dekat  dengan  Gie, termasuk tokoh Ira (Sita
Nursanti,  mantan tri vokal RSD) dan Sinta (Wulan Guritno), juga Jaka (Doni
Alamsyah).
 
Kalau  pun  ada  tokoh  nyata  dalam film ini, mereka tak lain adalah kedua
orang  tua  Gie, Soe Li Pet (Robby Tumewu) dan ibunya Nio (Tuti Kirana) dan
abangnya  Soe  Hok-djin  yang mengganti namanya menjadi Arief Budiman (Gino
Korompis).   Sementara,  sahabat-sahabatnya  yang  muncul  hanyalah  Herman
Lantang (Lukman Sardi) dan Aristides Katoppo (Surya Saputra).
 
Informasi  yang  didapat tentang Soe Hok-gie cukuplah menambah bahan. Meski
pada  akhirnya,  Riri  juga  melakukan  pijakan  skenarionya pada desertasi
doktoral  pria  kebangsaan Australia, John Maxwell, Soe Hok-gie, Pergulatan
Intelektual Muda Melawan Tirani.
 
Timur Angin/dok Miles production
 
Dari  sini lah, ia kemudian menyuguhkan film berdurasi 2 jam, 27 menit itu.
Pidato  Presiden  RI  Pertama Soekarno, mengawali rangkaian film Gie. Suara
yang  menggelegar  seakan  menandai periode waktu film itu berlangsung. Ya,
inilah  masa  ketika  bangsa  ini  memasuki  babak  kehidupan  politik yang
bergelora.
 
Soe  Hok-Gie remaja, yang diperankan Jonathan Mulia, menjadi saksi akan hal
itu. Tokoh-tokoh besar dunia, semacam Gandhi, Kennedy dan Soekarno, menjadi
sosok  yang  diidolakannya.  Meski  kenyataan ia akhirnya memilih menentang
Soekarno.
 
Namun  dari  Soekarno lah, ia belajar melawan tirani dan ketidakadilan. Gie
remaja  memperlihatkan  gelagat  itu. Ia menjadi "pembangkang" ketika masih
duduk  di  SMP.  Sang  guru  tak segan-segan dikritiknya. Lantaran sikapnya
itulah, nilai ulangan ilmu buminya dikurangi sang guru. Ia dipanggil kepala
sekolah agar meminta maaf pada sang guru. Tapi Gie menolaknya.
 
Dalam  Catatan Harian Soe Hok-gie, ia menuliskan kekesalannya itu. "4 Maret
1957. Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Ulangan ilmu bumiku
8 tapi dikurangi 3 jadi tinggal 5..."
 
Tak  terima dengan perlakuan itu, bersama karibnya Han (Christian Audy), ia
malah  berniat menghajar sang guru. Selepas mengajar, mereka membuntutinya,
hingga  akhirnya  luluh  juga hati Gie, ketika Pak Guru bercengkrama dengan
sang anak dan menggendongnya ke sebuah gubuk.
 
Inilah  sifat  luhur  seorang  Gie,  ia  cepat tersentuh rasa kemanusiannya
ketika melihat sebuah ketidakberdayaan.  Gie bahkan rela bersitegang dengan
orangtuanya  demi  menyelamatkan  Han dari tantenya, yang suka memukulinya.
Oleh  Gie,  Han  dianjurkan  untuk  menginap  di  rumahnya.  Tapi,  ibu Gie
melarangnya.
 
Sejurus  kemudian,  Tante Han bersama dua orang hansip datang menjemputnya.
Di  hadapan  Gie,  Han  diseret  dan dipukuli. Ia pun berontak dan berusaha
menyelamatkan Han. Tapi gagal.
 
Cerita   lain  terjadi  pada  sebuah  siang.  Ketika  Gie  memasuki  bangku
kuliah--Gie,  kali ini diperankan Nicholas Saputra. Ia melihat seorang pria
tampak  begitu  kelaparan.  Ia  bukan  pengemis, tapi karena tak punya uang
untuk  bisa  dibelanjakan,  si  pria  memungut  mangga  dari  sampah  untuk
dimakannya. Gie dibuat kaget. Ia hampiri dan memberinya uang.
 
"...Inilah  salah  satu gejala yang mulai tampak di ibu kota. Dan keberikan
Rp2,50  dari  uangku... Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, "paduka" kita
mungkin  lagi  ketawa-tawa,  makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik.
Dan  kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. "Kita,
generasi  kita,  ditugaskan  untuk  memberantas generasi tua yang mengacau.
Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor
tua,  seperti Iskak, Djodi, Dahjar dan Ibnu Sutowo. Kita lah yang dijadikan
generasi  yang akan memakmurkan Indonesia." catatan Soe Hok-gie inilah yang
salah satunya dijadikan pengantar cerita lewat suara Nicholas Saputra.
 
Menyajikan  film  Soe Hok-gie  tentu saja merupakan sebuah kerja besar yang
tak  bisa  dianggap enteng. Usaha para sineas ini patutlah diacungi jempol.
Setidaknya,   karya   mereka  bukanlah  film  ecek-ecek  yang  kini  banyak
bermunculan di layar sinema kita.
 
Iri  Supit,  sang  penata  artistik,  mampu menghadirkan suasana Jakarta di
tahun 60-an. Ini jelas bukan pekerjaan gampang. Sejumlah pernak-pernik yang
dihadirkan  sudah  tentu  harus  mewakili  zamannya.  Lihatlah  sepeda  dan
mobil-mobil  zaman baheula berseliweran di layar Gie dan mampu menghidupkan
suasana kala itu.
 
Mengenai  Jakarta  yang  kini  sudah  banyak berubah, para pekerja film ini
akhirnya  sepakat  menjadikan kota Semarang sebagai lokasi syuting. Di sana
lah setidaknya, suasana tempo doeloe masih terasa begitu tampak.
Beruntung,  suasa  Jalan Kebon Jeruk IX, Jakarta Barat, tempat Gie bermukim
bersama  orangtuanya  dulu,  berhasil  ditemukan di sana, tepatnya di Jalan
Layur.  Mirip  suasana Kebon Jeruk tahun 50-an, Jalan Layur dipenuhi tukang
becak, pedagang dan sebuah masjid.
 
Timur Angin/dok Miles production
 
Menyaksikan   Soe  Hok-gie,  berarti  menyaksikan  sebuah  keteguhan  dalam
melakoni  prinsip-prinsip  yang  diyakininya  benar.  Ia  sempat menjadikan
Soekarno  sebagai  idolanya,  namun  ia  jugalah  yang  turut menggulingkan
keperkasaan Soekarno sebagai penguasa Orde Lama.
 
Gie,   adalah   seorang   yang  selalu  dipenuhi  kegelisahan.  Suara-suara
kegelisahan  itu  lah  yang  dicurahkannya lewat tulisan-tulisan yang cukup
tajam.  Semua  dibabat habis, baik militer, rekan-rekan aktivis kampus yang
telah lupa pada perjuangan awalnya, hingga kampusnya sendiri. "Inilah akhir
bagi  Gie,  ketika  ia  mengkritik kampusnya sendiri. Dia seperti tak punya
rumah lagi," kata Riri.
 
Kehidupan  pribadi  Gie,  menjadi bagian yang menarik. Sosok Ira dan Sinta,
setidaknya  mewakili   perempuan-perempuan  yang  dekat  dengan Gie, semasa
hidupnya.  Meski  Sinta  telah membuatnya bergelora, namun sepertinya cinta
matinya hanya untuk Ira, sahabat dekatnya.
 
Adegan  yang  menghadirkan  pelacur  bernama  Sinta  (Happy Salma), menjadi
bagian  yang  menggelikan.  Namun,  ini  menjadi penting dalam menghadirkan
karakter  Gie.  Ia  digerayangi,  tapi  Gie  justru  tak tergiur dan pergi.
Alih-alih,  ia   justru  sempat  ngambek pada rekannya Denny (Indra Birowo)
yang telah menjebaknya.
 
Takdir  telah  ditentukan  padanya.  Gie  mati  muda di pangkuan sahabatnya
Herman  Lantang, ketika ia mendaki Gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa.
Sebuah  akhir  yang  tragis. Namun, Riri sengaja tak memunculkan adegan itu
sebagai  penghujung  cerita.  Ia  justru menghadirkan senyum dan kebahagian
Riri bersama sahabatnya Han, saat bermain di pantai.
 
Ya,  sebuah  tempat  yang  dicita-citakan Han semasa hidupnya. Dan, hal itu
justru  terkabul  ketika  ia  mengakhiri hidupnya. Ia dieksekusi tentara di
sebuah pantai di Bali, karena menjadi anggota aktivis Partai PKI.
 
Menghadirkan  Gie  kembali  dalam  benak masyarakat saat ini, memang terasa
perlu.   Terlebih,   ketika   negeri   ini  telah  kehilangan  panutan  dan
cecurut-cecurut  asyik  menggerayangi aset-aset negara. Sosok-sosok Gie lah
yang  bisa  menjadi  jawabanya.  "Kita,  generasi  kita,  ditugaskan  untuk
memberantas generasi tua yang mengacau..."




Categories: