Menceritakan semua tentang cita, cinta dan petualangan hidup.

Jumat, 29 Januari 2010

hanya pikiran anak-anak

tragis !
denger berita lewat tv. aku cuman bisa geleng kepala ma ngelus dada.. heran gue

lu kira jadi presiden ntu gampang apa? huh!! bisanya demo ! demo ! dan demo !

bakar tu semua foto pak SBY !
apa gunanya sih mbakar2 kayak gitu?? lu kira kertas tu gag mbayar apa?? mbakar kertas sama aja dengan mbakar hutan! shit*
mbakar hutan sama aja bikin kiamat di bumi ini..

apa2an?? penting apa demo? didengerin juga nggak ! panas2 kayak gito! capek ! mending lakuin hal yang lebih penting.. mikir !!

bukannya gue mihak sama suatu pihak.. tapi gue cuman heran sama warga Indonesia ini. bisanya DEMO ! dan MENJELEK-JELEKAN pihak yang tidak disukainya .. ngaca dong ! apa prilaku kalian udah bener? baru boleh komentar! tapi yang sehat! bukan pake demo!!

punya malu gag seh??
di liput sama negara lain ! di sana kita di ejek.. dicaci maki.. apa2an?? bangga kayak gitu?!

kalo gue jadi pak SBY, gue bakal bilang
"silahkan kalian menggantikan posisi saya!"

biar lu rasain gimana susahnya jadi presiden.. biar lu pada msuk RSJ dan dirawat intensif si situ.. biar gag demo lagi.. *damn!

boro2 jadi presiden..
jadi kepala keluarga aja susah!
apa lagi presiden yang ngurusin sekian juta kepala keluarga ! kebayang gak?? mikir !

nb: ini hanya pikiran anak2, apabila ada yang terkait jangan di masukan ke hati. aku cuman pengen negara ini aman dan damai. tanpa ada pertumpahan darah.. tanpa ada kobaran api yang membakar bumi ini..
apalagi sampe buat onarr dan nyampe2 demo gara2 gue.. silahkan!

Minggu, 24 Januari 2010

masih tentang SHG


Apa hubungan antara Soe Hok Gie dan Puncak Mahameru?

Dan apa yang berkaitan antara keduanya?

 
Soe Hok Gie dan Mahameru adalah dua legenda Indonesia, sedangkan hubungan antara keduanya?
Soe Hok Gie wafat di Mahameru saat melakukan pendakian pada 18 Desember 1969 karena menghirup asap beracun gunung tersebut


Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia adalah sosok aktifis yang sangat aktif pada masanya. Sebuah karya catatan hariannya yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman oleh LP3ES diterbitkan pada tahun 1983. Soe Hok Gie tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia dan juga merupakan salah satu pendiri Mapala UI yang salah satu kegiatan terpenting dalam organisasi pecinta alam tersebut adalah mendaki gunung. Gie juga tercatat menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet, 3.442m.

Kemudian pada 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676m. Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya tesebut :



“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Sebelum berangkat, Gie sepertinya mempunyai firasat tentang dirinya dan karena itu dia menuliskan catatannya :
“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Gie yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut beberapa kisah yang mewarnai tragedi tersebut yang saya kutip dari Intisari :
Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.
Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).


Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
 

Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
 

Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.

 
“Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang. 

 
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.

Soe Hok Gie telah menjadi salah satu Dewa yang memuncaki Mahameru, Puncak Abadi Para Dewa

Sabtu, 23 Januari 2010

sedikit mengenal SHG


Soe Hok-gie: Kisah Lelaki dari Kebon Jeruk
Jakarta, KCM
 
Timur Angin/dok Miles production
 
Saatnya  bangsa  ini untuk diingatkan, bahwa negeri ini pernah memiliki Soe
Hok-gie.  Aktivis  muda  yang memilih diasingkan, ketimbang menjadi manusia
munafik.
 
Ia  memang  pantas  diidolakan  karena   kegigihannya  dalam  bersikap  dan
menuntun  dirinya  untuk  jujur  pada  nilai-nilai yang diyakininya. Inilah
saatnya,  generasi  muda dikenalkan pada sosoknya agar mau belajar padanya.
Bukan  kepada  mereka  yang  melacurkan dirinya pada kekuasaan, jabatan dan
kemewahan.
 
Di  tangan  sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana, usaha itu dicoba
dirintis.   Lewat  film  berbeaya  Rp.  7 miliar itu, kedua sinaes muda ini
menghadirkan  kepada  masyarakat Tanah Air, sebuah interpretasinya terhadap
sosok  Gie.  Kalaupun  banyak  hal  tak  sesuai dengan apa yang dibayangkan
orang-orang,  terutama  yang  pernah  dekat  dengannya,  toh kata Mira, itu
karena film ini merupakan sebuah interpretasi Riri terhadap Gie. Bukan film
dokumenter ataupun film biografi!
 
Cukup   repot  menggali  informasi  seputar  kehidupan  Gie.  Apalagi  yang
menyangkut  kehidupan  pribadinya.  Riri  bahkan harus pergi ke luar negeri
untuk  menemui  perempuan yang pernah dekat dengan Gie. Meski kisahnya bisa
didapat,  tak  sedikit  nara sumber yang keberatan untuk disebutkan namanya
dalam film Riri tersebut.
 
Banyak  tokoh fiktif yang dihadirkan. Kata Mira, itu menjadi referensi dari
sejumlah  tokoh  yang  pernah  dekat  dengan  Gie, termasuk tokoh Ira (Sita
Nursanti,  mantan tri vokal RSD) dan Sinta (Wulan Guritno), juga Jaka (Doni
Alamsyah).
 
Kalau  pun  ada  tokoh  nyata  dalam film ini, mereka tak lain adalah kedua
orang  tua  Gie, Soe Li Pet (Robby Tumewu) dan ibunya Nio (Tuti Kirana) dan
abangnya  Soe  Hok-djin  yang mengganti namanya menjadi Arief Budiman (Gino
Korompis).   Sementara,  sahabat-sahabatnya  yang  muncul  hanyalah  Herman
Lantang (Lukman Sardi) dan Aristides Katoppo (Surya Saputra).
 
Informasi  yang  didapat tentang Soe Hok-gie cukuplah menambah bahan. Meski
pada  akhirnya,  Riri  juga  melakukan  pijakan  skenarionya pada desertasi
doktoral  pria  kebangsaan Australia, John Maxwell, Soe Hok-gie, Pergulatan
Intelektual Muda Melawan Tirani.
 
Timur Angin/dok Miles production
 
Dari  sini lah, ia kemudian menyuguhkan film berdurasi 2 jam, 27 menit itu.
Pidato  Presiden  RI  Pertama Soekarno, mengawali rangkaian film Gie. Suara
yang  menggelegar  seakan  menandai periode waktu film itu berlangsung. Ya,
inilah  masa  ketika  bangsa  ini  memasuki  babak  kehidupan  politik yang
bergelora.
 
Soe  Hok-Gie remaja, yang diperankan Jonathan Mulia, menjadi saksi akan hal
itu. Tokoh-tokoh besar dunia, semacam Gandhi, Kennedy dan Soekarno, menjadi
sosok  yang  diidolakannya.  Meski  kenyataan ia akhirnya memilih menentang
Soekarno.
 
Namun  dari  Soekarno lah, ia belajar melawan tirani dan ketidakadilan. Gie
remaja  memperlihatkan  gelagat  itu. Ia menjadi "pembangkang" ketika masih
duduk  di  SMP.  Sang  guru  tak segan-segan dikritiknya. Lantaran sikapnya
itulah, nilai ulangan ilmu buminya dikurangi sang guru. Ia dipanggil kepala
sekolah agar meminta maaf pada sang guru. Tapi Gie menolaknya.
 
Dalam  Catatan Harian Soe Hok-gie, ia menuliskan kekesalannya itu. "4 Maret
1957. Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Ulangan ilmu bumiku
8 tapi dikurangi 3 jadi tinggal 5..."
 
Tak  terima dengan perlakuan itu, bersama karibnya Han (Christian Audy), ia
malah  berniat menghajar sang guru. Selepas mengajar, mereka membuntutinya,
hingga  akhirnya  luluh  juga hati Gie, ketika Pak Guru bercengkrama dengan
sang anak dan menggendongnya ke sebuah gubuk.
 
Inilah  sifat  luhur  seorang  Gie,  ia  cepat tersentuh rasa kemanusiannya
ketika melihat sebuah ketidakberdayaan.  Gie bahkan rela bersitegang dengan
orangtuanya  demi  menyelamatkan  Han dari tantenya, yang suka memukulinya.
Oleh  Gie,  Han  dianjurkan  untuk  menginap  di  rumahnya.  Tapi,  ibu Gie
melarangnya.
 
Sejurus  kemudian,  Tante Han bersama dua orang hansip datang menjemputnya.
Di  hadapan  Gie,  Han  diseret  dan dipukuli. Ia pun berontak dan berusaha
menyelamatkan Han. Tapi gagal.
 
Cerita   lain  terjadi  pada  sebuah  siang.  Ketika  Gie  memasuki  bangku
kuliah--Gie,  kali ini diperankan Nicholas Saputra. Ia melihat seorang pria
tampak  begitu  kelaparan.  Ia  bukan  pengemis, tapi karena tak punya uang
untuk  bisa  dibelanjakan,  si  pria  memungut  mangga  dari  sampah  untuk
dimakannya. Gie dibuat kaget. Ia hampiri dan memberinya uang.
 
"...Inilah  salah  satu gejala yang mulai tampak di ibu kota. Dan keberikan
Rp2,50  dari  uangku... Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, "paduka" kita
mungkin  lagi  ketawa-tawa,  makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik.
Dan  kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. "Kita,
generasi  kita,  ditugaskan  untuk  memberantas generasi tua yang mengacau.
Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor
tua,  seperti Iskak, Djodi, Dahjar dan Ibnu Sutowo. Kita lah yang dijadikan
generasi  yang akan memakmurkan Indonesia." catatan Soe Hok-gie inilah yang
salah satunya dijadikan pengantar cerita lewat suara Nicholas Saputra.
 
Menyajikan  film  Soe Hok-gie  tentu saja merupakan sebuah kerja besar yang
tak  bisa  dianggap enteng. Usaha para sineas ini patutlah diacungi jempol.
Setidaknya,   karya   mereka  bukanlah  film  ecek-ecek  yang  kini  banyak
bermunculan di layar sinema kita.
 
Iri  Supit,  sang  penata  artistik,  mampu menghadirkan suasana Jakarta di
tahun 60-an. Ini jelas bukan pekerjaan gampang. Sejumlah pernak-pernik yang
dihadirkan  sudah  tentu  harus  mewakili  zamannya.  Lihatlah  sepeda  dan
mobil-mobil  zaman baheula berseliweran di layar Gie dan mampu menghidupkan
suasana kala itu.
 
Mengenai  Jakarta  yang  kini  sudah  banyak berubah, para pekerja film ini
akhirnya  sepakat  menjadikan kota Semarang sebagai lokasi syuting. Di sana
lah setidaknya, suasana tempo doeloe masih terasa begitu tampak.
Beruntung,  suasa  Jalan Kebon Jeruk IX, Jakarta Barat, tempat Gie bermukim
bersama  orangtuanya  dulu,  berhasil  ditemukan di sana, tepatnya di Jalan
Layur.  Mirip  suasana Kebon Jeruk tahun 50-an, Jalan Layur dipenuhi tukang
becak, pedagang dan sebuah masjid.
 
Timur Angin/dok Miles production
 
Menyaksikan   Soe  Hok-gie,  berarti  menyaksikan  sebuah  keteguhan  dalam
melakoni  prinsip-prinsip  yang  diyakininya  benar.  Ia  sempat menjadikan
Soekarno  sebagai  idolanya,  namun  ia  jugalah  yang  turut menggulingkan
keperkasaan Soekarno sebagai penguasa Orde Lama.
 
Gie,   adalah   seorang   yang  selalu  dipenuhi  kegelisahan.  Suara-suara
kegelisahan  itu  lah  yang  dicurahkannya lewat tulisan-tulisan yang cukup
tajam.  Semua  dibabat habis, baik militer, rekan-rekan aktivis kampus yang
telah lupa pada perjuangan awalnya, hingga kampusnya sendiri. "Inilah akhir
bagi  Gie,  ketika  ia  mengkritik kampusnya sendiri. Dia seperti tak punya
rumah lagi," kata Riri.
 
Kehidupan  pribadi  Gie,  menjadi bagian yang menarik. Sosok Ira dan Sinta,
setidaknya  mewakili   perempuan-perempuan  yang  dekat  dengan Gie, semasa
hidupnya.  Meski  Sinta  telah membuatnya bergelora, namun sepertinya cinta
matinya hanya untuk Ira, sahabat dekatnya.
 
Adegan  yang  menghadirkan  pelacur  bernama  Sinta  (Happy Salma), menjadi
bagian  yang  menggelikan.  Namun,  ini  menjadi penting dalam menghadirkan
karakter  Gie.  Ia  digerayangi,  tapi  Gie  justru  tak tergiur dan pergi.
Alih-alih,  ia   justru  sempat  ngambek pada rekannya Denny (Indra Birowo)
yang telah menjebaknya.
 
Takdir  telah  ditentukan  padanya.  Gie  mati  muda di pangkuan sahabatnya
Herman  Lantang, ketika ia mendaki Gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa.
Sebuah  akhir  yang  tragis. Namun, Riri sengaja tak memunculkan adegan itu
sebagai  penghujung  cerita.  Ia  justru menghadirkan senyum dan kebahagian
Riri bersama sahabatnya Han, saat bermain di pantai.
 
Ya,  sebuah  tempat  yang  dicita-citakan Han semasa hidupnya. Dan, hal itu
justru  terkabul  ketika  ia  mengakhiri hidupnya. Ia dieksekusi tentara di
sebuah pantai di Bali, karena menjadi anggota aktivis Partai PKI.
 
Menghadirkan  Gie  kembali  dalam  benak masyarakat saat ini, memang terasa
perlu.   Terlebih,   ketika   negeri   ini  telah  kehilangan  panutan  dan
cecurut-cecurut  asyik  menggerayangi aset-aset negara. Sosok-sosok Gie lah
yang  bisa  menjadi  jawabanya.  "Kita,  generasi  kita,  ditugaskan  untuk
memberantas generasi tua yang mengacau..."